Dahulu kala datang seorang pemuda dari Surakarta ke wilayah Glagah Legi. Dikisahkan pemuda
tersebut bernama Mas Kliwon dia merupakan seorang Prajurit dari kraton Mataram. Sekitar tahun
1700 masehi Kraton Mataram dipimpin oleh Raja Amangkurat I, pada saat itu terjadi Geger
Trunojoyo yang mengakibatkan Raja Amangkurat I dan rombongan Prajutit Kraton menyingkir ke
arah barat (daerah Tegal) Kemudian Raja Amangkurat I sakit dan meninggal dan kemudian
dimakamkan di Tegal (Tegal Arum). Kekuasaan Pada Saat itu digantikan oleh anaknya Raden Mas
Rahmat (Amangkurat II) yang kemudian mendirikan Kraton Kartasura Surakarta. Saat itu
Amangkurat II Pro Belanda mengakibatkan beberapa bawahanya tidak setuju dengan Raja dan
memisahkan diri dari rombongan Keraton.
Rombongan yang pindah haluan antara lain adalah Surayudha yang merupakan Petinggi
Keraton dan Anaknya yang bernama Mas Kliwon merupakan Prajurit pilihan Kraton, Ki Agung Alim
yang merupakan Pemuka Agama, dan beberapa orang yang tidak sependapat dengan Raja,
kemudian mereka berpisah untuk mencari kehidupan sendiri-sendiri. Surayudha menetap di
Perkampungan timur Sungai Tulis sebelah Desa Larangan Pagentan, Warga setempat mengangkat
Surayudha menjadi Bekel dan daerah tersebut dinamakan Desa Surayudhan (Sekarang Desa
Surayudhan Wonosobo).
Anak Surayudha yaitu Mas Kliwon bersama temanya Ki Agung Alim menyebrang ke barat
Sungai Tulis dan sampai ke sebuah daerah yang bernama Glagah Legi Masyarakat disana
menyambut baik kedatangan Mas Kliwon karena tahu bahwa beliau adalah Perajurit pilihan Kraton.
Mas Kliwon menikah dengan seorang perempuan dari sebrang Sungai Merawu Putri dari Nyai
Sekati (Makam Kunci), Nyai Sekati merupakan pendatang dari wilayah Gersik bersama dengan
kedua kaknya yaitu sunan Giri Pit dan Sunan Giri Wasiat. Setelah menikah Mas Kliwon dan Istrinya
menetap di Perkampungan Glagah Legi dan Masyarakat setempat mengangkatnya menjadi
Pemimpin di daerah Glagah Legi dengan gelar Bekel JOYO WIKARTO selanjutnya dikemudian hari
Joyo Wikarto juga dikenal dengan julukan Mbah Bekel. Dimasa kepemimpinanya daerah tersebut
diganti menjadi Kali Glagah menyesuaikan dengan kondisi daerah, terdapat Sungai yang ditumbuhi
banyak rumput glagah. Sampai sekarang Kaliglagah masih berpenghuni dan merupakan salah satu
Dusun di Desa Gumingsir. Ki Agung Alim menetap di Dusun Karanglo dan menjadi juru Dakwah
daerah barat sungai Tulis dan termasuk Cikal Bakal Penyiar Agama Islam di Wilayah Kecamatan
Pagentan. Joyo Wikarto (Mbah Bekel) merupakan ahli kanuragan sementara Ki Agung Alim
merupakan Ahli Agama mereka bekerja sama membangun Masyarakat di daerah yang mereka
tempati hingga Wafat. Ki Agung Alim Meninggal tanpa menyisakan Jenazah (musna seraga
wadhag) hanya ada peninggalan berupa mahkota/penutup kepala dari onggokan rambut yang
ditemukan Warga sekitar di tegalan, kemudian Warga sekitar Membuat Cungkup keramat di tempat
tersebut dan menamakanya dengan Makam Silawe di Dukuh Karanglo Desa Kalitlaga.
Joyo Wikarto Wafat kemudian Jenazahnya dikebumikan di pinggir Sungai Merawu kemudian
Makam tersebut diberinama Makam Ngadiluhur. Ada beberapa Nisan di Makam Ngadiluhur yaitu
Makam Mbah Joyo Wikarto beserta istrinya, Makam pembantu perempuanya (Biyung Mban) dan 5
makam pembantu laki lakinya antara lain Dadung Awuk, Rujak Beling, Simbar Dada, Carang Kumitir
dan Rambut Geni.
Sepeninggal Joyo Wikarto kepemimpinan diteruskan keturunanya, kemudian sebagian
pemukiman berpindah ke daerah atas Kaliglagah yang sekarang dinamakan Gumingsir. Beberapa
keturunan menyebar ke daerah lain seperti Kalibening, Gumiwang, Banjarnegara, Talun Amba,
Wanasraya, Gembrosan, Karangnangka, Sokaraja, Kalitlaga, Aribaya, Gumingsir dan Kalikidang.
Pada Tahun 1994 Paguyuban Keturunan Patra Jaya berkumpul di tempat Bp. Atmo Miharjo
(mantan Kades Aribaya) merencanakan pemindahan Makam Mbah Joyo Wikarto dari Ngadiluhur
ke Desa Aribaya dusun Bawang namun tidak berjalan dengan lancar. Karena dari pihak Kalikidang
menentang perpindahan Makam tersebut. Dengan dasar Punden Joyo Wikarto merupakan bukti
sejarah yang harus dihormati selama beratus-ratus tahun, Kalikidang memenangkan perebutan
tersebut dan pada tanggal 17 Desember tahun 1994 Makam tersebut dipindahkan dari Ngadilihur ke makam Kalikidang, kemudian makam tersebut diberi nama Makam GIRILOYO NGADILUHUR.
Sampai sekarang makam masih ada dirawat oleh ahli waris Jayawikarta.
Asal Muasal Nama Desa Gumingsir yaitu pada saat awal ditempati daerah atas Kaliglahag
sering bergerak/longsor Gingsar-Gingsir akibat erosi Sungai Merawu sehingga penduduk sering
berpindah pemukiman, kemudian Masyarakat setempat menamakan daerah tersebut dengan
nama Desa GUMINGSIR. Kepala Desa/Lurah pertama dari Desa Gumingsir adalah Patrajaya.
Berikut nama-nama kepala Desa Gumingsir dari yang dapat diketahui sejarahnya :
1. JOYO WIKARTO (Mbah Bekel Pendiri Desa 1717 - 1756)
2. YASA DIKARA (Bekel 1756 - 1764)
3. PATRA DIKARA (Penatus 1765 - 1809)
4. KARTADIKARA (Penatus 1809 - 1836)
5. SUPARMAN KARTO GUNAWAN (Lurah 1836 - 1945)
6. ASAN REJA (Lurah 1945 - 1965)
7. SACHLI HARJOWIYOTO (Lurah 1965 - 1974)
8. MULYO SUMARTO (Lurah 1974 - 1999)
9. SUTARMAN (Kepala Desa 1999 - 2013)
10. BEJO SUROSO (Kepala Desa 2013 - sekarang)
Demikian sejarah Desa Gumingsir yang diranngkum dari beberapa narasumber yaitu : Bp.
Suparman Karto Gunawan serta sumber terkini dari Wikipedia
.